Menyulam Ilmu di Kampus Hijau



Kemarin lusa ketika aku duduk di teras rumah, aku mendapatkan pesan singkat yang betuliskan hadirilah seminar. Lantas dengan penasaran aku buka pesan itu dengan sedikit jerih payah akibat kuota internet menipis. Apa yang kudapatkan sangat diluar dugaan, ternyata ada seminar yang sangat ku tunggu-tunggu. Temanya memang sangat menggugah selera berfikirku, dengan mengusung “Penguatan Tradisi Ilmiah Sivitas Akademika IAIN Tulungagung”. Tanpa berfikir panjang lebar lantas aku mendaftar ke nomor yang tersedia. Tidak menunggu lama smsku di balas dengan cepat, dengan hati yang berbunga aku melanjutkan kegiatanku yang tadi sempat tertunda.

Pagi ini dunia sangat cerah, dengan hembus angin hangat dan pantulan senyuman sang mentari. Waktu sudah menunjukkan pukul 07.30 WIB, aku bergegas menuju kampus dakwah dan peradaban tempat seminar itu dilaksanakan. Tiga puluh menit perjalanan dengan santai menikmati indahnya dunia ini aku tempuh. Sampailah aku disana dan bertemu beberapa kawan yang telah menantiku. Bergegaslah kami menuju lantai teratas gedung KH. Saifudin zuhri. Wow ternyata di dalam gedung sudah di penuhi para mahasiswa dan beberapa dosen. Melihat kerumunan itu salah satu temanku dengan sigap berbicara pada penenerima tamu “mas kita nanti ya absennya, masak nggak hapal denganku”, dari kata-kata itu kami mencari tempat duduk yang kiranya nyaman.

Tidak menunggu lama yang ditunggu-tunggu telah datang, seorang guru besar dan pengajar dari Monas Universty Autralia, Bapak Nadirsyah Hosen yang berperan sebagai narasumber, di temani oleh Bapak Maftukhin selaku Rektor dan tidak kalah menariknya seminar ini di moderatori oleh Bapak Ngainun Naim yang sangat kencang semangatnya di bidang literasi. Itu tadi sebuah pembukaan dari pesan yang akan ku tulisakan dari kata-kata dan intisari seminar tersebut.

Pada seminar kali  ini bapak Maftukhin menyampaikan bahwa tradisi pesantren harus di jaga dan dilestarikan dilingkungan akademik. Tradisi itu bisa berarti berfikir ilmiah, belajar dan menalar sebuah ilmu, membaca, riset dan akhirnya menghasilkan sebuah karya. Tidak ketinggalan beliau juga menyampaikan bahwa tradisi akademik itu harus dibarengi dengan ngopi dan ngerokok agar bisa fokus. Perkataan ini sangat luar biasa apalagi menyinggung namanya kata kyai, artinya apa dalam dunia ini banyak berbagai macam kebiasaan dan kesukaan orang yang tidak boleh dipaksakan kehendaknya. Kalau kamu mau merokok ya silakan kalau tidak ya silakan jangan disamakan. Dalam tradisi pesantren perbedaan pendapat itu sudah pasti, makanya ada yang namanya musyawarah untuk menemukan kesepakatan. Itulah sedikit pembuka dari beliau yang dapat kutuliskan.

Diskusi panjang akan segera dimulai, namun tidak akan ku tuliskan semunaya di sini. Inti dari apa yang dikatakan narasumber akan ku tulis dan ku kemas sesuai dengan gaya penulisanku. Kata beliau bapak Nadir, berbicara mengenai lintasan atau cara seseorang itu terkenal sangatlah berbeda-beda. Kita ambil contoh di luar negeri mereka yang jadi pengajar atau dosen terkenal itu dengan fokus pada penelitian dan karyanya pada jurnal. Sedangkan di Indonesia terkenal harus mulai dari menulis koran, mengahdiri seminar di sana-sini dan membuat banyak buku belum lagi pengabdiannya di masyarakat, kalau disana berbeda. Lintasan itulah yang menjadikan perbedaan dosen dalam dan luar negeri.

Untuk menghasilakan sebuah karya yang bagus hendaknya setiap orang itu harus tahu ritme tubuh. Ritme yang dimaksud disini  adalah waktu produktivitas seseorang. Setiap orang itu pasti memiliki waktu produktivitasnya masih-masing, bisa pagi, siang, sore atau malam, tergantung kebiasaan orang tersebut. Kesempatan yang akan kita perolah pada saat jam-jam seperti itu adalah kita mudah untuk mengkaji dan menelaah sebuah bahan bacaan. Kebanyakan orang tidak menyadari akan hal itu, termasuk penulis sendiri, mendengarnya sangat menggelikan ketika kita tidak bisa memaksimalkan potensi yang ada dalam diri kita.

Ketika kita sudah menemukan ritme itu dan kita sudah bisa terbiasa dengan hal tersebut PR-nya adalah menjaga tetap fokus. Bagaimana menjaga tetap fokus, ada yang fokus itu bisa diperoleh setelah sholat sunah, ada dengan menjaga wudunya, ada yang dengan merokok, ada pula dengan mendengarkan musik, semua tergantung kebiasaan mereka mang-masing. Namun semua kemegahan itu tidak akan tercapai jika hubungan antarperonal atau interaksi sesama umat menjadi renggang.
Boleh kita menjadi intelek tapi kalau kita lupa dengan siapa kita hidup dan untuk apa kita hidup, itu sangat berbahaya. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah ketika kita menjadi intelek jangan menunjukkan ke akuannya tapi tunjukkanlah sopan santun kita kepada sesama umat beragama dan saling menghargai jangan saling menghina.

Satu hal lagi yang dapat penulis petik dari perkataan Pak Ngainun Naim adalah seseorang yang intelektualitasnya tinggi ia akan memproses bahasa yang rumit menjadi bahasa sederhana dan mudah dipahami oleh orang lain, sebaliknya orang yang sok gaya intelek akan membuat bahasa yang sederhana menjadi rumit. Ini adalah menunjukkan bahwa penguasaan materi atau kemampuan mengolah bahasa seorang intelek sejati dan bukan sangat berbeda dan berada pada level yang sangat jauh.

Itulah Secuil pesan yang dapat penulis petik dari seminar tadi pagi. Semoga apa yang tertulis ini benar dan dibenarkan oleh-Nya sang penguasa alam. Tidak panjang lebar penulis mengucapkan selamat membaca dan jika ada kritik serta sarannya penulis sangat berterima kasih.




Penulis : Riyanto
20 Oktober 2018

Komentar

Postingan Populer