puisi esai
Bung Ryan:
Merisak
Jiwaku berpegang teguh
Penuh keluh sampai lesuh
Saat itu aku lupa
Bahwa kau telah tiada
Entah pergi berkelabu dengan siapa
Ada hal mengusik diotak
Bukan pikiranku tentamu
Tapi tenyang-nya
Yang tak kunjung usai
Untuk apa aku dipertemukan
Bangku yang merisak jadi saksi
Pelaku bisu tanpa pilu
Menerjang angan membawa ke nirwana
Keabadian dalam sejumput kasih
Menoreh luka yang lepas
Sembuh ditelan raksa
Sampai terlumat asam
Merisak menjadi unsur
Untuk tumbuh subur
Membentuk jiwa abadi
Sampai titik nadi
Tulungagung 25 November 2020
Diujung pandang
Selayang pandang surat itu ditulis
Di ketiknya lewat kata-kata
Senyumnya yang paling semringah diantara yang lain
Takkan bisa melepaskan kenangannya
Ya, dia adalah kenangan
Yang takkan terlupakan oleh siapapun
Badan tambunny dengan keanekaragaman tawanya
Celana culunnya yang itu itu saja
Terkadang menjadi ejekan kasar
Gelak canda tawa selalu lahir disisinya
Suatu hari dia bercerita
Bahwa hidup itu harus bermakna
Entah apa itu maknanya tetaplah hidup
Menjalaninya dengan sepenuh hati
Adalah kewajiban sang pelaksana
Dia
Sang tambun ceria
Lama tak dipandang Mengatakan hal lucu
Dia berkata aku akan menghiburmu lewat ujung dunia
Seakan tawa muncul sekali lagi
Aku yang memandangnya hanya menghela heran
Ah apa kata dunia bila ada ujungnya
Kata itu mungkin hanya ucapan sampah saja
Tapi menggelak tawa orang banyak
Siapa sangka sang tambun ingin kurus
Dia berkata aku sudah tidak kuat untuk kurus lagi
Lantas kenapa kamu mengurangi porsimu?
Aku ingin mengurangi lemak?
Kasian kaus dan celanaku?
Semua heran dan tertawa lagi
Tak habis pikir hanya karena kausnya molor
Ia ingin mengurangi berat tubuh
Selang satu dua tiga bulan
Si tambun berkurang beratnya
Dari yang perutnya segede gentong
Sekarang tinggal kosong
Semua heran dan terpingkal
Melihat ia seperti tas keresek yang kehilangan muatan
Tertawa terbahak-bahak sekali lagi
Semingu berlalu
Dua minggu berlalu
Hingga orang-orang tidak tahu kabarnya lagi
Sitambun menelpon ke kawan akrabnya
Tapi yang berbicara bukan dia
Dia hanya nomornya saja
Adikya mengabarkan
Dia telah berpulang
Tepat di hari kematian ibunya
Semua menangis
Tersedu-sedu mengingat gelak lucunya
Tapi mau bagaimana lagi sitambun telah berpulang
Seakan meja meja sudah hancur
Takkan ada tawa menyertai sitambun
Selamat jalan
Sampailah diujung pandang duniamu
2 desember 2020
Jalan Tuhan
Saat itu engkau menghampiriku
Dan bertanya dengan lantang
Apakah kau masih dengannya
Nya ? Penuh tanda tanya aku berputar
Kepalaku mengingat siapa yang ditanyai itu?
Lantas aku menjawab tidak
Ia menjawab sembari menggandeng tanganku
Dengan lembut penuh godaan
Aku sebenarnya sayang denganmu
Sontak kaget, dan aku berbalik
Badanku dan perkataanku
Apakah kamu benar-benar?
Dia lantas menimpali dengan kata keras
Apakah kau mencintaiku
Aku menjawab dengan semangat
Iya aku mencintaimu
Apakah itu cukup?
Untuk kau tau
Apakah itu tidak kurang?
Ia lantas menjawab dengan nada lirih
Namanya wanita
Seperti itulah mereka
Tak mau berterus terang
Tetapi hatinya ramai
Ramai dipenuhi segudang pertanyaan
Hari demi hari berjalan
Sudut sudut kota
Kita singgahi bersama
Jalan bersama
Bercanda bersama
Tidak ada kata tanpa bersama
Sampai pada suatu ketika kita berda pendapat
Hubungan itu mengempis
Bagai ban yang tidak muat ditumpangi
Dan bocor ditengah jalan
Ia berkata kita tidak cocok
Aku jawab itu pilihanmu
kembali
at itu tuhan mengentikan
Kemesraan dalam dusta
Tuhan memang maha tau
Selayaknya kita ini buih
Dapat bertemu ujung pantai adalah anugrah
Seperti dia yang tak dapat bersamaku
Tak apa
Jalan tuhan memang berbeda
Hari demi hari berikutnya
Aku tak keberatan
Menunaikan canda tawa sendiri
Namun tidak sendiri sesendiri garpu dan sendok
Aku masih punya kawan
Sekarib senasib
Beda dengan garpu sendok
Terpisah selamanya namun tidaktirkan bersama
Menjalani hidup sesuai jalan tuhan
Diatas nas yang tertera
Sesuai kodrat yang ada
Tanpa sedikit gerutu
Aku masih bersyukur
Karena cintanya masih melekat
Diujung keujung
Sampai pada titik jalan itu
Menemukan tuannya kembali
3 desember 2020
Teras rumah
Hari cerah, ia melangkah
Menunaikan apa yang menjadi pelipur lapar
Dari lorong sempit itu ia berjalan
Dengan baju kaus warna coklat di dalamnya biru
Karung karung besar ia letakkan di belakang dudukan sadelnya
Sepedah ia kayuh sampai menuju perempatan rami sekali
Orang orang memandanginya
Ah ia tidak peduli
Dia mulai menitipkan sepedanya
Dari jauh ia menyusuri tempat tempat penuh berkah
Memungut sebisa mungkin uang dari plastik
Sesekali ia menghela nafas untuk meredakan dahaga
Dari kejauhan terlihat dia sudah dapat sekarung penuh rezeki yang menyampah
Ia menyusuri jalan menuju sepedanya lagi
Lantas ia kembali dengan karung besar sekali lagi
Namun beda arah.
Sejengkal ia berjalan ada wanita paruh baya memanggil
"Tuan apakah mau air?"
Jawabnya dengan lirih
"Mau ibu"
"Ini tuan...(Hanya sebotol air yang tidak seberapa mahal namun mendahagan sehari)"
Ia berjalan lagi
Sekarang ia mulai mengais di tong tong kekesalan
Tempat beradu para rongsokan
Dan kembali dibakar oleh mereka
Yang terlalu manis hidupnya
Mendung mulai menyayat mata
Ia bergegas menghentakkan kakinya
Dengan sekarung setengah penuh
Mempercepat pencarian hari ini
Hasilnya memang tak seberapa
Namun baginya cukup untuk bisa melahap nasi
Mendung mulai mengumpul dan rintil sudah dimulai
Sekarung penuh sudah ia dapat
Jataknya dengan sepeda sangat jauh
Kira-kira sejauh mata tidak bisa memandang
Ia bergegas
Namun terlambat, hujan sudah deras mengguyur
Sebagian kausnya sudah basah
Terpaksa ia tinggalkan sepedanya sendiri
Lantas ia berselimut karung menghindari ruang hujan
Menatap matahati yang tak muncul
Dan hanya awan yang tersisa
Sudah satu jam ia disana
Di teras entah milik siapa
Berharap hujan itu segera sirna
Sampai ia menginjakkan kakinya lagi
Beberapa lama kemudian hujan mereda
Itu belum terang dan ia merasakan lapar
Dengan segera langkah kaki menuju sepedanya
Sampai dengan kuyupnya
Segera ia menali dua karung besar
Bergegas mengayuh sepedanya menuju gang singgasana
Setengah jalan ia sudah lewati
Hujan kembali deras dengan sedikit angin
Padahal kurang satu kilometer lagi
Dia terpaksa memangku tangannya
Meletakkan laparnya di ujung teras sekali lagi
Membiarkan sepeda dan karungnya kehujanan
Dengan berharap hujan segera mereda.
6 01 2021
Komentar
Posting Komentar