GERAKAN NEO-SUFISME




 
Sufi



GERAKAN NEO-SUFISME
 
Oleh 
Riyanto
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan modern ini, kita sebagai manusia yang berakal diwajibkan untuk mengetahui sesuatu hal atau belajar mengenai semua hal sehingga tidak fakir akan ilmu pengetahuan. Apalagi pada era kekinian ini dunia seakan didalam genggaman. Dalam Islam sudah jelas bahwa kewajiban menuntut ilmu itu ditujukan kepada seluruh umat muslim. Inilah yang menjadi dasar mengapa kita harus mengetahui segala hal yang terjadi di dunia ini. Kita hidup di dunia ini bagaikan debu jika tertiup angin akan hilang. Begitu pula pengetahuan dan ilmu jika kita tidak mau mencarinya dia tidak akan datang dengan sendirinya seperti debu yang tertiup angin tadi kita akan hilang sirna tanpa ada yang mengenalinya.
Ketika berbicara tentang konteks keilmuan kita tidak akan lepas dengan yang namanya mempelajari agama atau bisa dikatakan mempelajari ilmu agama hukumnya wajib. Kita tahu bahwa agama adalah tiang atau pondasi dalam kehidupan kita. Dalam agama kita akan mengetahui tentang tata cara hidup bermasyarakat. Banyak agama dinuia ini dan banyak pula pedoman yang dipakainya. Agama Islam  sendiri agama yang terbesar pengikutnya diseluruh dunia dengan berpegang teguh pada Al Quran sebagai kitabnya. Dalam Al Quran tersebut termuat berbagai petunjuk-petunjuk yang disampaikan Allah untuk umatnya. Al Quran sendiri didalamnya memuat tentang peristiwa sejarah, kajian alam, kajian fikih, dan masih banyak lagi misteri yang belum terkuak didalam kitab suci umat Islam tersebut.
Dari berbagai ilmu yang ada di dunia ini memang ada ilmu – ilmu yang sekiranya jarang orang mengetahuinya atau memercayainya. Salah satu ilmu yag ada di setiap agama adalah ilmu tentang metafisika atau mistitisme yang menggkaji tentang berbagai kejadian diluar akal manusia atau pancaindra manusia. Dalam Islam ada yang namanya ilmu tasawuf. Dalam tasawuf kita diajari bagaimana mendekatkan diri kepada sang pencipta tanpa ada halangan atau bisa dikatakan menghadap tuhan secara langsung, meskipun langsung disini bukan secara lahir kita datang kepada sang pencipta namun hanya sebatas perasaan atau hati (ruhani). Ilmu tasawuf atau disebut sufisme ini menekankan tentang ajaran bagaimana manusia bisa dekat dengan sang penciptanya. Salah satu buku yang saya baca orang barat menyebutkan bahwa sufisme adala mistisismenya islam atau mistik dalam islam. Orang sufi biasanya lebih banyak menyendiri dari pada berinteraksi dengan masyarakat karena mereka menganggap bahwa melatih jiwa itu sangatlah penting.  Namun dalam perkembangannya konsep itu mulai hilang dan muncul yang namanya gerakan neo-sufisme. Tasawuf dalam konteks kekinian atau neo-sufisme inilah yang ingin penulis jabarkan dalam tulisannya.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Tasawuf ?
2.      Apa Pengertian Neo-Sufisme ?
3.      Bagaimana Karakter Neo-Sufisme ?
4.      Bagaimana Perjalanan Sufisme Tradisonal Menuju Urban Sufisme ?
5.      Bagaimana Perjalanan dan hubungan Sufisme Modern, Sufisme Urban dan Neo-Sufisme ?
C.      Tujuan
1.      Mengetahui Pengertian Tasawuf,
2.      Mengetahui Pengertian Neo-Sufisme,
3.      Mengetahui Karakter Neo-Sufisme,
4.      Mengetahui Perjalanan Sufisme Tradisonal Menuju Urban Sufisme,
5.      Mengetahui Perjalanan dan hubungan Sufisme Modern, Sufisme Urban dan Neo-Sufisme.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tasawuf
Tasawuf adalah nama yang diberikan untuk mistisisme Islam. Oleh para orientalis barat disebut sufism (sufisme). Kata sufisme dalam literatur barat khusus dipakai untuk mistisisme islam (islamic mysticism) atau mistik yang tumbuh dalam islam.[1] Pengertian tasawuf sendiri sangat banyak, ditinjau dari segi etimologi tasawuf berasal dari kata shafa’ yang artinya suci (orang yang bersih atau suci). Tasawuf berasal dari kata shaff (barisan terdepan ketika orang shalat) yakni sebagaimana halnya di shaf pertama orang tasawuf di mulyakan dan diberi pahala oleh Allah. Tasawuf berasal dari bahasa yunani shopos (hikmah) yang berarti kebijaksanaan. Tasawuf berasal dari kata shuf (kain wol yang kasar) artinya melambangkan kesederhanaan.[2]
Tasawuf ditinjau secara etimologis pengertiannya juga sangat banyak sekali. Namun dari beberapa definisi yang sudah ada dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian tasawuf ialah usaha melatih jiwa yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, yang dapat membebaskan manusia dari pengaruh kehidupan duniawi untuk bertaqarrub kepada Tuhan sehingga jiwanya menjadi bersih, mencerminkan ahklak mulia dalam kehidupannya, dan menemukan kebahagiaan spritualitas.[3]
Dalam tasawuf juga dikenal dengan istilah mutashawwif dan sufi. Mutashawwif adalah orang yang berusaha menjadi sufi dan berjuang keras mencapai derajat sufi dengan menempuh jalan kaum sufi. Sebagaimana orang yang berusaha menjalani kehidupan zuhud, ia disebut “mutazahid”. Jika sesorang mencapai derajat tertentu dalam laku zuhudnya, dimana segala sesuatu seakan membencinya dan ia merasakan fana’ dari kebencian itu sehingga dirinya dan kebencian itu saling meniggalkan maka ketika itulah ia disebut “zahid”. Kemudian, jika seseorang mencapai taraf spiritualitas yang membuat dunia mendatanginya namun ia tidak menginginkannya dan tidak pula membencinya (hanya menjalankan perintah dan skenario Allah terkait dunia itu) maka, pada taraf ini, ia meningkat menjadi seorang Mutashawwif. Selanjutnya jika pengertian tersebut telah melekat dan menjadi karakter dirinya, ia disebut sufi.[4]
Istilah sufi sendiri sendiri menurut asal usul berasal dari kata “al-mushafah” yang berarti hamba yang dibersihkan oleh Allah. Karena itu, sufi didefinisikan sebagai orang yang bersih (suci) dari jebakan-jebakan nafsu, yang terhindar dari celah-celah diri, menempuh jalan terpuji, beristikamah menjalani kenyataan-kenyataan hakiki (haqiqi) dan tak merasakan ketentraman hati dengan seorang pun dari kalangan mahkluk (khalaiq). Ada juga yang mendefinisikan tasawuf dengan berkata dan berlaku bernar dengan Allah dan berbudi baik dengan makhluk.[5]
Para sufi generasi pertama telah membangun tarekat mereka berdasarkan ilmu yang mereka ambil dari para ulama’. Fatwa yang yang mendasarinya adalah bahwa asas dari tarekat adalah wahyu samawi yang merupakan bagian dari ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Tidak diragukan lagi bahwa tarekat atau tasawuf adalah maqam ihsan, dan ihsan adalah salah satu dari bagian elemen dasar agama, sebagai diterangkan oleh Rasul dalam sebuah sabdanya setelah menjelaskan ketiga elemen dasar tersebut “ini adalah jibril yang datang untuk mengajari kalian tentang agama kalian” ketiga elemen dasar agama tersebut adalah Islam, iman, dan ihsan.[6]
Pokok-pokok ajaran tasawuf untuk mencapai ma’rifah kepada tuhan secara ringkas disebutkan sebagai berikut,
1.      Distansi
Distansi adalah pengambilan jarak antara nafsu-nafsu yang berusaha memperhamba jiwanya, serta mengambil jarak dengan ikatan dunia, segala sesuatu hanya dengan Allah.
2.      Konsentrasi
Konsentrasi disini adalah untuk berdzikir kepada Allah. Dalam tasawuf konsentrasi merupakan aspek praktis sehingga setiap orang dapat menjalankan dzikir. Walaupun yang benar-benar berdzikir secara sempurna hanya golongan yang khawash (para wali Allah) dan bukan golongan awam yang berwasilah kepada orang-orang suci.
3.      Iluminasi atau kasyaf
Apabila konsentrasi dzikir berhasil maka akan mengalami fana terhadap kesadaran indrawi dari mulai kasyaf (tersingkap tabir) terhadap penghayatan alam ghaib dan memuncak menjadi ma’rifah. Dari kasyaf ini para sufi mengawali awal mi’raj jiwanya, sehingga dapat bertemu dengan malaikat, roh para nabi, dan dapat memperoleh ilmu laduni bahkan dapat melihat nasib di Lauh Al-Mahfuzh dan tahap terakhir dapat bertemu dengan tuhan bahkan bersatu dengan Tuhan.
4.      Insan kamil
Manusia sempurna (insan kamil) dalam ajaran tasawuf adalah orang-orang suci yang kehidupannya memancarkan sifat-sifat ilahiah, atau bahkan merupakan jelmaan Tuhan di muka bumi. Insan kamil adalah orang-orang yang dalam semua kehidupannya memancarkan nur Muhammad serta memiliki berbagai karamah. Ajaran tasawuf murni bertujuan menjadikan waliyullah, yakni orang yang dapat mencapai penghayatan ma’rifah dan setiap saat dapat berdialog langsung dengan tuhan, karena telah menjadi kekasih-Nya.[7]
Dari pokok-pokok ajaran tersebut tasawuf berkembang menjadi budaya tersendiri dalam mendekatkan diri kepada Tuhanya. Dalam perkembangannya dan dalam berbagai pengalamnnya ajaran sufisme berkembang sampai sekarang ini. Dalam Islam sangatlah penting mendekatkan diri kepada Tuhan, tanpa dipungkiri manusia bukan apa-apa jika tanpa Tuhan.

B.     Pengertian Neo-Sufisme
Agama  merupakan  salah  satu  alternatif  yang  dapat membantu  tugas  tersebut.  Sufisme  sebagai  salah  satu  model  pendekatan  dalam beragama menarik kita kedepankan untuk mengatasi persoalan tersebut. Dalam konteks ini tentu saja sufisme (yang kemudian dikenal sebagai neo-sufisme) yang jauh dari citra yang banyak dipegangi orang selama ini: bahwa sufisme sering mengabaikan Islam (baca, ortodoksi atau lebih khas lagi syariah), cenderung eksklusif, dan menjauhi dunia.
Dalam kamus besar bahasa indonesia kata neo berarti “baru yang diperbarui”[8] sedangkan kata sufisme adalah nama umum berbagai aliran sufi dalam agama islam.[9] Sehingga dari sini dapat disimpulkan bahwa neo-sufisme adalah sufi yang menganut paham-paham baru mengenai ajaran tasawuf atau ajaran mendekatkan diri kepada tuhannya dengan cara yang baru bukan memakai cara klasik atau kuno.
Dalam dunia akademik istilah gerakan neo-sufisme itu sendiri bukanlah sesuatu yang sepenuhnya baru. Gerakan ini terjadi pada paruh akhir abad ke-5 Hijrah (abad ke-11 M) ketika terjadi pendekatan kembali antara kecenerungan Islam yang bersifat   spiritual   (esoteris)   dengan   kecenderungan   Islam   yang   bersifat   syariah (eksoteris; dalam arti sempit Islam fiqh).    Pada masa itu terlihat perubahan sikap di kalangan  ahli  hukum  yang  menerima  sepenuhnya  sufisme  dalam  pelukan  ortodoks Sunni. Sebelumnya sejak awal pertumbuhannya sampai pada paruh pertama abad ke -11 M  (abad  ke-6  M),  sufismeyang  lebih  cenderung  bersifat  falsafiterlibat  dalam konflik yang tajam dengan literalisme hukum, yang diwakili fuqaha.[10]
Beberapa kancah (locus) kaum suf seperti ribath, khaniqa-h dan zawiyah diorganisasikan oleh para penguasa Muslim sunni. serta dikembalikan kepada ortodoksi sunni. Lembaga-lembaga tersebut dibangun dalam kompleks madrasah dan diletakkan di  bawah  otoritas  ulama  ortodoks.  Pembangunan  lembaga-lembaga  sufi  di  luar organisasi resmi sunni tidak dinenarkan, dan mereka diterima ke dalam ribath, khaniqah dan zawiyah disyaratkan harus memiliki kecenderungan kepada tasawuf. Akan tetapi mereka harus tidak menciptakan bid'ah yang dianggap bertentangan dengan syari'ah.
Dengan demikian para ulama yang sebelumnya hanya berorientasi pada syari'ah memberikan pengakuan terhadap tasawuf. Pemaduan aktivitas syari'ah dengan penghayatan  yang bersifat  haqiqah menjadi  gejala  yang umum  di  kalangan  ulama. Pendekatan semacam inilah yang kemudian membawa kepada kebangkitan yang kemudian disebut sebagai "neo-sufism".
Istilah neo-sufisme yang dimunculkan oleh FazIur Rahman dalam jurnal yang ditulis Hermansyah, kemudian mengundang diskusi yang panjang di kalangan para ahli. Menurutnya, neosufisme adalah sufisme yang telah diperbaharui (reformed siffism). Sebagian besar sifat ekstat metafisis, dan kandungan mystiko-filosofis yang sebelumnya dominan dalam sufisme kini digantikan kandungan yang tidak lain daripada postulat-postulat agama (Islam) ortodoks. Selanjutnya Rahman menguraikan lebih jauh bahwa neo-sufisme menekankan dan memperbarui faktor moral asli dalam kontrol diri puritanis dalam sufisme dengan mengorbankan  bentuk-bentuk  ekstravaganza  sufisme  populer  yang unortodoks.  Neo sufisme mengalihkan pusat perhatian kepada rekonstruksi sosio-moral masyarakat muslim. Ini berbeda dengan sufisme awal, yang lebih menekankan individu ketimbang masyarakat.  Sebagaimana diketahui bahwa adanya penekanan yang berlebihan kepada individu (dalam sufisme "lama') dapat diperhatikan dari pandangan tentang zuhud atau asketisme yang pasif dengan anti dunia. Zuhud, salah satu unsur penting dalam sufisme, diartikan sebagai sikap membenci dunia dan menyukai akhirat. Bahkan martabat zuhud yang lebih sempurna (zuhud 'arifin) adalah memandang hina dan keji segala kenikmatan dunia dan semata-mata menuju kepada Haq Taala (akhirat).[11]
Oleh sementara kalangan, asketisme seperti itu sangat dikecam. Spiritualisme isolatif yang menjauhkan pelakunya dari masyarakat dianggap sebagai spiritualisme orang-orang lemah dan egois. Mereka tidak mampu menghadapi kejahatan dan bahaya sehingga lari ke ’uzlah. Karena itu penganut spiritualisme egois hanya mencari kebahagiaan untuk diri mereka sendiri. Spiritualisme seperti itu kernudian kemudian diperbaharui oleh kaum neo-sufisme menjadi spiritualisme sosial. Konsekuensi dari seluruh upaya rekonstruksi sufisme dari individu ke sosial tersebut, menurutnya tidak  ragu  lagi  babwa  karakter  keseluruhan  neo-sufisme adalah puritanis dan aktivis.[12]
Kebangkitan agama   (termasuk tasawuf) merupakan penolakan yang tegas terhadap kepercayaan buta (dan berlebihan) kepada ilmu pengetahuan dan teknologi. Penolakan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang selarna ini   nyaris menjadi "pseudo-religion ".   Gejala ini merupakan salah satu fenomena yang cukup menonjol di masa sekarang, yang oleh sebagian ahli disebut juga sebagai pascamodernisme (post-modernism). Masa ini ditandai dengan krisis yang parah dalam berbagai aspek kehidupan. Kehidupan terasa demikian keras, sulit dan penuh dengan kriminalitas. Modernisme dan modernisasi ternyata gagal menyingkirkan agama dari masyarakat. Dalam kasus Islam, apa yang kita lihat dalarn kebangkitan tasawuf di masa sekarang tentu menunjukkan kecenderungan  yang berbeda. Dalam dunia Islamterutama fenomena munculnya apa yang disebut neosufismeantara spritualitas dan agama (dalam arti syariah atau lebih sempit fiqh) dapat berjalan secara harmonis. Dengan kata lain ketika terjadi kebangkitan sufisme pada saat yang sama muncul juga kesadaran untuk menjalankan syari'at agama. Uniknya lagi kebangkitan spiritualitas pada sufisme ini juga tidak bersifat eksklusif dan mengasingkan diri dari dunia tetapi secara proaktif ambil bagian dalam menyelesaikan problem-problem kemanusiaan kontemporer.[13]

C.      Karakteristik Neo-Sufisme
Menurut Fazlur Rahman dalam jurnal yang ditulis oleh Muzakkir , neosufisme adalah reformed sufism yang bermaksud sufisme  yang  telah  diperbaharui.   Sekiranya  pada  era  kecemerlangan sufisme terdahulu aspek yang paling dominan adalah sifat ekstatik-metafisis atau mistis-filosofis, maka dalam sufisme baru ini ianya digantikan dengan prinsip-prinsip Islam ortodoks. Neo-sufisme mengalihkan pusat pengamatan kepada pembinaan semula sosio-moral masyarakat Muslim, sedangkan sufisme terdahulu didapati lebih bersifat individu dan hampir tidak melibatkan diri dalam hal-hal kemasyarakatan. Oleh karena itu, karakter keseluruhan neo-sufisme adalah  “puritanis  dan  aktivis”.  Tokoh-tokoh  atau  kumpulan yang paling berperanan dalam reformasi sufisme ini juga merupakan paling bertanggung  jawab  dalam  kristalisasi  kebangkitan  neo-sufisme. Menurut Fazlur Rahman, kumpulan tersebut adalah kumpulan Ahl al-Hadith.[14] Mereka ini cuba untuk menyesuaikan sebanyak mungkin warisan kaum sufi yang dapat diharmonikan dengan Islam orthodox terutamanya motif moral sufisme melalui teknik zikir, muraqabah atau mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Berdasarkan hal tersebut, bahwa tujuan neo-sufisme cenderung kepada  penekanan  yang  lebih  intensif  terhadap  memperkukuhkan  iman sesuai dengan prinsip-prinsip akidah Islam dan penilaian terhadap kehidupan duniawi sama kehidupan ukhrawi.  Akibat dari sikap keberagamaan ini menyebabkan wujudnya penyatuan nilai antara kehidupan duniawi dengan nilai kehidupan ukhrawi atau kehidupan yang “terresterial” dengan kehidupan yang kosmologis.[15]
Dalam hal ini, bahawa sufi yang sebenarnya bukanlah yang mengasingkan dirinya dari masyarakat, tetapi sufi yang tetap aktif di tengah kehidupan masyarakat dan melakukan al-'amr bi al-ma’ruf wa nahy `an al- munkar (islah) demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.[16]
Konsep yang lain yakni Ruhaniyyah al-Ijtima`iyyah  atau  spiritualisme  sosial.  Merupakan  penggerak kepada  konsep  neo-sufisme ini  yang  bermarkas  di  Geneva. Sikap dan cara hidup seperti yang digambarkan sufi terdahulu yang sangat mementingkan ukhrawi, sehingga tersisih daripada kehidupan masyarakat yang menurutnya itu adalah egois dan pengecut, hanya mementingkan diri sendiri. Sikap hidup yang benar adalah “tawazun” yaitu keseimbangan dalam diri sendiri termasuk dalam kehidupan spiritualnya serta kehidupan duniawi dan ukhrawi.
Persamaan dan perbedaan antara sufisme terdahulu dengan neo-sufisme adalah:
1.      Kelahiran sufisme klasik dan kebangkitan neo-sufisme nampaknya dimotivasi oleh faktor-faktor yang sama, yakni gaya kehidupan yang glamour dan materialistik-konsumeristik, formalisme pemahaman dan pengalaman keagamaan sebagai imbas dari kegarangan rasionalisme dan faktor kekerasan perebutan hegemoni kekuasaan yang merasuki seluruh aspek kehidupan manusia.
2.      Kesucian jiwa-rohaniyah bahwa keduanya mendambakan dan menekankan betapa urgennya kebeningan dan kesucian hati nurani dalam segala aspek kehidupan umat manusia aspek takziyah anafs.
3.      Sufisme terdahulu meyaini secara mutlak kebenaran yang diperoleh esoteris al kasyt dan hanya mengakui pendekatan esoteris satu-satunya yang dapat digunakan dalam penghayatan keagamaan. Neo-sufisme menyakini kebenaran apabila sejajar dengan syariat dan mengakui pliralitas keagamaan.
4.      Dzikrullah dan muraqabah..
5.      Sufisme terdahulu menempuh cara hidup uzlah total dan neo-sufisme menempuh cara hanya sewaktu diperlukan saja sekedar unutk menyegarkan wawasan melalui muhasabah introspeksi.
6.      Zuhud, askestisme, sufisme terdahulu membenci kehidupan duniawi, dianggap menghalangi pencapaian tujuan tetapi sufisme baru meyakini bahwa duniawi ini sangat bermakna dan amat penting bahwa neo-sufisme menjadi satu-satunya alternatif culture yang dapat meng-counter culture materialistis-konsumeris dan hedonis.[17]
Berdasarkan beberapa pandangan dan komentar di atas jelas menunjukkan bahawa neo-sufisme berupaya untuk kembali kepada nilai-nilai Islam yang utuh (kaffah) iaitu kehidupan yang seimbang (tawazun) dalam segala aspek kehidupan dan dalam segala segi ekspresi kemanusiaan. Dengan alasan ini pula dapat dikatakan bahawa yang disebut neo-sufisme itu tidak kesemuanya adalah “barang baru”, namun lebih tepat dikatakan sebagai sufisme yang dipraktikkan dalam kehidupan peribadi dan bermasyarakat sesuai dengan kedudukan masa kini. Dengan menukilkan sedikit rumusan Nurcholish Madjid dalam jurnal karya muzakkir yang mengatakan bahawa neo-sufisme adalah sebuah esoterisme atau penghayatan keagamaan batini yang menghendaki hidup secara aktif dan terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan. Neo-sufisme mendorong dibukanya peluang bagi penghayatan makna keagamaan dan pengamalannya yang lebih utuh dan tidak terbatas pada salah satu aspeknya saja tetapi yang lebih penting adalah keseimbangan (tawazun).[18]

D.    Sufisme Tradisional Menuju Keperkotaan (Urban)
Modernitas telah berdampak pada terciptanya   keresahan kehidupan bagi kelas menengah perkotaan. Keresahan tersebut ditimbulkan karena adanya pola kehidupan mekanik yang serba statis telah menciptakan adanya pendisplinan tubuh bagi kaum modernis. Akibatnya, penduduk kelas menengah perkotaan tidak memiliki ruang ekspresi lebar dalam mengartikulasikan keinginannya. Maka, keresahan kehidupan tersebut ditandai dengan dua tanda yakni alienasi dan juga bunuh diri.   Alienasi atau keterasingan  modern  dialami  kelas menengah urban yang agonistik tersebut kemudian mencari agama sebagai solusi. Artinya bahwa semakin tinggi teknologi berkembang (high tech), maka semakin berkembang pula kebutuhan rohani manusia (high touch). Di situlah kemudian, kehadiran spiritualitas sendiri menjadi urgen dan signfiikan dalam menjelaskan hadirnya sufisme.[19]
Maka, gejala gerakan agama baru (new religious  movement)  sendiri  menjadi  trend penting untuk menjawab pertanyaan penting mengenai Apa Tuhan itu Ada” (is there a God ?) dan “Siapakah Aku” (Who am I ?) menjadi penting dijawab melalui munculnyaagama baru” tersebut. Dalam hal ini, agama baru sendiri bukanlah mengajak umatnya yang lupa untuk kembali menjalankan peribadatan. Agama baru bukanlah ekpresi terhadap keimanan dan keyakinan berbasis teologis,  namun  juga  sudah  melibatkan praktik budaya leluhur. Adanya sinergisitas tersebut menandakan bahwa adanya pengakuan masyarakat modern bahwa selain halnya agama, tradisi juga menjadi penting untuk  menjadi  bagian  pencarian  solusi Namun lebih dari itu, hal yang ditekankan kemudian adalah agama dimaknai secara praktikal sebagai pemecah masalah kehidupan.   Sufisme secara harfiah dimaknai sebagai bentuk refleksi diri terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan menanggalkan semua keinginan duniawi.  Praktik ibadah shalat, sedekah, maupun juga peribadatan lain kini tidak hanya semata di masjid maupun mushola. Indikasi sederhana dari munculnya urban sufisme di kalangan kelas menengah perkotaan  adalah  marak  munculnya  masjid dan    mushola    di    kalangan    perkantoran maupun pusat perbelanjaan, maraknya resital Al-Quran melalui aplikasi telepon genggam, maupun juga munculnya gerakan sukarela sedekah jamaah dan lain sebagainya.[20]
Artinya, urban sufisme yang digagas oleh kelompok kelas menengah perkotaan ini kemudian mengarahkan terbentuknya pemaknaan baru terhadap religuisitas dalam beragama. Religuisitas  lebih  penting daripada pengalaman agama secara skriptual dikarenakan efeknya bisa langsung dirasakan oleh diri sendiri maupun orang lain. Dengan adanya gerakan agama baru (new religion movement) sendiri kemudian mengarahkan makna   sufisme   sendiri   lebih   menyempit yakni sebagai solusi pemecah masalah. Permasalahan yang dialami oleh kelas menengah perkotaan yang multi dimensional sendiri mengarahkan pada bentuk pencarian solusi  bersifat  transendental.  Kondisi tersebut kemudian memicu adanya naiknya kebutuhan filantropis meningkat berupaa kegiatan amal jariyah berupa infaq dan shadaqah melalui berbagai macam lembaga donor Kebutuhan saleh dan filantropis sebenarnya merupakan bagian dari sarana untuk memperkuat penemuan solusi atas permasalahan hidup tersebut. Hal itu sebenarnya sesuai dengan yang didalilkan dalam Islam bahwa sedekah adalah jalan untuk  mengurangi  beban  masalah  tersebut dan akan dituntunkan jalan solusi pemecahannya.[21]
Pesatnya perkembangan sufisme yang berkembang pesat di perkotaan memberikan dampak terhadap transformasi sufisme itu sendiri. Kegiatan sufisme yang diidentikkan dengan upaya pencarian kebenaran sejati di jalan sunyi kini berkembang menjadi upaya pencarian solusi secara kolektif. Masyarakat kelas menengah urban berupaya kembali membangun keimanan mereka sebagai benteng iman dalam menghadapi tekanan hidup yang semakin meningkat. Kondisi tersebut yang kemudian mendorong adanya sufisme   menjadi   kebutuhan   pokok   utama yang  berkembang  menjadi  kebutuhan populer massa. Maka, adanya sufisme yang dihadirkan  dalam  model baru  ini  kemudian lazim disebut sebagai sufisme urban”.
Fenomena sufisme urban sendiri dapat dikategorisasikan menjadi beberapa hal seperti halnya urban sufisme sendiri berbasis majelis talim dan forum spiritualitas, sufisme mahasiswa dengan munculnya kelompok halaqah maupun usra, serta sufisme keagamaan ortodoks.  Kelompok sufi ikhwan di Indonesia tersebut  menggunakan sufisme seperti yang diajarkan oleh Hassan Al Banna bebasiskan pada murshid, ikhwan, dan wazifah.  Sufisme tersebut merupakan bagian dari   upaya pembentukan ideologi sufi yang dimulai dari ukhuwwah, halaqah, usrah, dan lain sebagainya. Sufisme ikhwan berpusat pada kegiatan pendidikan (pendidikan) yang menekankan adanya purifikasi (pensucian/pembersihan) islam yang ditawarkan oleh kalangan kelas menengah muslim. Purifikasi islam yang diajarkan melalui bentuk kegiatan sufi kampus tersebut degan cepat menyebar ke berbagai kalangan. Aktualisasi dari purifikasi itulah yang kemudian menampilkan adanya Partai Keadilan Sejahtera  (PKS) pada medi0 2000. Secara politis, PKS memiliki jumlah massa militan karena ikatan ikhwan yang dibangun cukup kuat di kalangan kelas menengah perkotaan. Oleh karena itulah, PKS juga acap kali disebut garis perjuangan sufisme ikhwan di Indonesia.[22]
Ketiga  bentuk  sufisme  tersebut merupakan   bagian   dari   proses   islamisasi yang menyebar paska Orde Baru. Penguatan Islam sebagai identitas politik kemudian diperkuat dengan munculnya produk budaya massa yang kemudian juga bertendensi pada penguatan  afiliasi  terhadap  mahzab keislaman tertentu.
Adanya   perubahan   sufisme   tersebut   agar lebih modernis. Howell menjelaskan bahwa sufisme modernis  tersebut mengindikasikan adanya  praktik  sufi  yang  disinergiskan dengan syariah dan fiqih disesuaikan dengan kehidupan modern.  Selain itu pula, sufisme modern  juga  menolak  adanya  sikap  zuhud dan taklid seperti yang diajarkan dalam sufisme tradisional dengan mengkultuskan seorang mursyid. Bahwa sufisme modern ini muncul karena terinsipirasi oleh pemikiran Ibnu Taimiyyah. Yang menekankan pada model ijtihad. Sufisme modern menempatkan adanya model pertanggung jawaban diri terhadap kehidupan. Oleh karena itulah, adanya ikatan tarekat belum tentu menjadikan pelaku sufi tersebut   mampu merubah diri menjadi lebih baik karena pada dasarnya spiritualitas adalah kebutuhan pribadi. Pada model sufisme tradisional sendiri, pemusatan terhadap sosok mursyid sebagai aktor solusi masalah dinilai sebagai bidah, oleh karena itulah kemudian, sufisme modern ini acap kali disebut sebagai sufisme tanpa tarekat.
Perkembangan sufisme modern ini memang tidak terlepas dari pengaruh maraknya modernisme dalalm Islam. Adanya unsur-unsur sufisme seperti halnya sinkretisme dan misitisme kemudian diubah dan disesuaikan syariah dan fiqih.   Hal ini tentu  saja  untuk  menghindari  adanya tuduhan khurafat  terhadap pelaksanaan sufi ini agar bisa diterima oleh empat mahzab keagamaan.   Selain itu pula, sufisme modern sendiri juga menekankan adanya prinsip tawazun (keseimbangan) antara kehidupan duniawi   dan   kehidupan   ukhrawi,   bahwa perlu adanya penyeimbangan antara kebutuhan dunia dan akhirat. Pengejaran terhadap kepentingan akhirat sendiri tidak akan berhasil apabila tidak diikuti dengan pencapaian di dunia. Sekilas bahwa, sufisme baru  yang  berkembang  dalam  kelas menengah urban ini kemudian turut merubah dimensi  asketisme  (tapa  brata)  dalam sufisme  itu  sendiri.  Hampir  mirip  dengan etika   protestan   yang   mendorong   adanya sikap kerja keras, menabung, dan hidup sederhana sebagai jalan terbaik dalam menggapai  kebahagiaan  akhirat.  Sufisme yang berlaku dalam kelas menengah islam bukanlah menjadi mendorong untuk melakukan tindakan, namun lebih kepada pengobat atas perilaku yang sudah terjadi.[23]

E.     Sufisme Modern, Urban Sufisme dan Neo-Sufisme
Sufisme modern yang berkembang dalam islam sekarang ini juga menghindari adanya sikap taklid terhadap hal-hal transendental yang abstrak. Pemahaman solusi ditawarkan dalam model sufisme modern yang menyeimbangkan prinsip syariah dan juga rasional  dinilai  lebih  mengena  dalam mengurai permasalahan dialami kelas menengah.  Hal  yang  ditekankan  dalam sufisme modern adalah prinsip timbal balik dan intensitas bahwa semakin sering beribadah kepada Tuhan, maka akan semakin cepat pula masalah  itu terselesaikan, dengan syarat  istiqamah dalam  menjalankan perilaku sufi tersebut. Pola pikir itulah yang kemudian dikembangkan dalam pegajaran sufisme bagi kelas menengah urban. Rasional di sini lebih dimaknai sebagai prinsip timbal balik antara semakin intens beribadah terutama ibadah sunnah maka semakin cepat pula solusi permasalahan itu kemudian hadir.[24]
Namun demikian, kita juga perlu membedakannya dengan sufisme urban, meskipun kedua pengertian tersebut menampilkan adanya dua pemahaman berbeda. Keduanya memang menampilkan simplifikasi   terhadap   metodologi   maupun juga praktik pengajarannya kepada umat. Namun kemudian, adnya sentuhan ritual budaya  lokal  kemudian  yang  menjadi pembeda antara sufisme modern maupun sufisme urban. Selain halnya adanya penambahan budaya lokal yang menjadi esensinya. Hal lain yang menjadi parameter adalah,   sufisme urban sendiri tidak hanya Islam an sich saja. Namun juga berkembang juga aliran kebatinan lainnya yang menawarkan adanya ketenangan diri. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa, munculnya gerakan new age seperti halnya komunitas Salamulloh, Komunitas Lia Eden, Imam Mahdi, Anand Khrisna, Satro Piningit, dan lain sebaganya menandakan bahwa sufime juga berkembang dalam aliran kepercayaan yang lainnya.   Tawaran sufisme mengenai ketenangan diri yang diinginkan oleh kelas menengah urban sendiri beraneka ragamnya .
Berkembangnya ketiga cabang sufisme dalam kasus kelas menengah muslim Indonesia merupakan bagian penting dari narasi revivalisme Islam paska Orde Baru. Revivalisme Islam atau kebangkitan Islam ditandai dengan munculnya berbagai macam ekspresi Islam dalam ruang publik.  Ekspresi tersebut  ada  yang  bersifat  lunak  maupun keras tergantung dari artikulasi kepentingan yang disampaikan oleh kelompok kelas menengah muslim tersebut. Sufisme yang semula berada dalam ranah privat kemudian berkembang menjadi budaya populer. Dalam tabulasi di atas disebutkan bahwa ekspresi sufisme ditujukan beragam jenis mulai dari ada   yang   mengedepankan   adanya   budya lokal, tradisional islam, maupun juga modifikasi modern.   Ketiga cabang sufisme tersbeut juga menandakan adanya tingkatan stress  yang  berbeda  pula  antar  kelompok kelas menengah muslim. Dari ketiga varian tersebut, yang berkembang menjadi ibadah populer adalah urban sufisme dan juga neo sufisme.  Berkembangnya  kedua  aliran sufisme di kalangan kelas menengah muslim tersebut juga tidak terlepas dari sifat sufisme cenderung bersifat lentur, toleran, dan akomodatif terhadap keragamaan. Kondisi tersebut menjadikan masyarakat kelas menengah terdorong untuk mengikuti kegiatan   sufi   yang   dilakukan   baik   itu   di masjid, perkantoran, pusat swalayan, dan lain sebagainya.
Adapun pemaknaan kelenturan tersebut dimaknai bahwa agama tidaklah selalu berbicara mengenai kewajiban dan hukuman, serta  hubungan  transendental  antara manusia  dan  Tuhan.  Sufisme  dibentuk sebagai makna mendekatkan diri kepada Tuhan melalui kebiasaan perilaku sehari. Toleran sendiri dimaknai sebagai bentuk saling  harga-menghargai  terhadap sesamanya. Lingkungan modernitas yang heterogen telah mendorong manusia untuk berinteraksi secara lebih bebas dan dinamis. Oleh karena itulah, agama menampilkan diri sebagai jembatan hubungan antar sesama manusia dengan menghindari adanya eksklusifitas terhadap umat. Sedangkan pengertian    akomodatif dimaknai sebagai bentuk kelenturan agama dalam menyikapi problematika masalah dalam kehidupan dengan bersumber pada Quran dan Hadist.[25]
Berbagai macam karakteristik itulah yang menginisiasi terbentuknya klub-klub sufi di berbagai penjuru ibukota. Klub-klub sufi tersebut secara garis besar terbagi dalam dua aliran yakni modernisme Islam dan juga tradisionalisme islam. Adapun aktualisasi modernisme islam melalui sufi diinsiasi oleh kalangan  kelompok Paramadina  pimpinan. Ada yang berpendapat Sufisme yang berkembang perlu ditekankan pada aspek pendidikan (tarbiyah). Sufisme berbasis tarekat sudah dipandang tidak  relevan  dalam  mengaktualisasikan islam dengan modernitas. Makna tarbiyah dimaknai sebagai bentuk mendidik kembali masyarakat sesuai dengan ajaran Quran dan Hadist sehingga dapat menumbuh kembangkan rasionalisme kelas menengah. Hal itulah yang kemudian membuat Madjid menekankan  adanya  rasionalisme  dalam kasus  sufisme  kelas  menengah  urban. Karakter rasional tersebut juga perlu disinergiskan dengan adanya etos kerja dan budi pekerti yang baik.    Pada akhirnya kemudian,  sufisme  akan  menampilkan adanya pencerahan kehidupan bagi kelas menengah muslim.
Pendapat lain kedua menekankan adanya rasionalisme dalam dalil aqli dan dalil naqli. Haidar Bagir lebih menekankan  pada  praktik  sufi  untuk mencapai perdamaian dan kebahagiaan. Praktik sufisme yang dilakukan oleh ulama terdahulu pada dasarnya merupakan bentuk kecintaan mereka yang ditunjukkan kepada Tuhan-Nya.  Hal  itulah  yang  coba  dilakukan oleh kelompok sufi bahwa sufi adalah ekspresi cinta dan bahagia.   Potret kelas menengah  muslim  yang  selama  ini  kering jiwa  karena  senantiasa  diburu  oleh  materi dan semangat individualisme diyakini telah menimbulkan bibit-bibit intoleransi. Kondisi itu pula yang dibawa melalui dakwah kepada kelas menengah bahwa dengan melakukan kegiatan sufi, akan mendapatkan cinta dan bahagia sejati.
Sedangkan yang ketiga lebih menekankan praktik sufisme untuk mencapai spiritualitas.   Selama   ini   pola   peribadatan wajib dilangasungkan sendiri hanya sekedar untuk memperkuat hubungan formalitas dengan manusia dan Tuhan-Nya saja. Namun belum menyentuh   pada aspek religusitas. Banyak permasalahan yang dihadapi oleh kalangan   kelas   menengah   muslim   sendiri tidak pernah tercapai karena hubungan yang berjarak dan formalitas dengan Tuhannya. Maka dengan memperkuat aspek religusitas, permasalahan hidup akan terurai dengan modal spiritualitas yang kuat dan tanggah.[26]


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Neo-sufisme adalah sufisme yang telah diperbaharui (reformed siffism). Sebagian besar sifat ekstat metafisis, dan kandungan mystiko-filosofis yang sebelumnya dominan dalam sufisme kini digantikan kandungan yang tidak lain daripada postulat-postulat agama (Islam) ortodoks. Karakteristik neo sufisme dapat dilihat dalampersamaan dan perbedaan dengan sufisme yang terdahulu yakni : Kelahiran sufisme klasik dan kebangkitan neo-sufisme nampaknya dimotivasi oleh faktor-faktor yang sama, yakni; pertama, gaya kehidupan yang glamour dan materialistik-konsumeristik, formalisme pemahaman dan pengalaman keagamaan sebagai imbas dari kegarangan rasionalisme dan faktor kekerasan perebutan hegemoni kekuasaan yang merasuki seluruh aspek kehidupan manusia. Kedua, Kesucian jiwa-rohaniyah bahwa keduanya mendambakan dan menekankan betapa urgennya kebeningan dan kesucian hati nurani dalam segala aspek kehidupan umat manusia aspek takziyah anafs. Ketiga, Sufisme terdahulu meyaini secara mutlak kebenaran yang diperoleh esoteris al kasyt dan hanya mengakui pendekatan esoteris satu-satunya yang dapat digunakan dalam penghayatan keagamaan. Neo-sufisme menyakini kebenaran apabila sejajar dengan syariat dan mengakui pliralitas keagamaan. Keempat, Dzikrullah dan muraqabah. Kelima, Sufisme terdahulu menempuh cara hidup uzlah total dan neo-sufisme menempuh cara hanya sewaktu diperlukan saja sekedar unutk menyegarkan wawasan melalui muhasabah introspeksi. Keenam, Zuhud, askestisme, sufisme terdahulu membenci kehidupan duniawi, dianggap menghalangi pencapaian tujuan tetapi sufisme baru meyakini bahwa duniawi ini sangat bermakna dan amat penting bahwa neo-sufisme menjadi satu-satunya alternatif culture yang dapat meng-counter culture materialistis-konsumeris dan hedonis.
Dalam dunia pendidikan praktik neosufisme dapat diterapkan dalam mengembangkan aspek penting dalam proses pendidikan peserta didik. Kita tahu bahwa fungsi pendidikan islam ada empat unsur yakni edukatif (medidik untu memberikan ilmu), mengembangkan kedewasaan berfikir, keyakinan terhadap pemahaman ilmiah, dan ibadah (bagian dari pengabdian hamba kepada sang pencipta).[27] Dari empat fungsi tersebut, fungsi terakhir yakni ibadah kepada sang pencipta dapat kita kategorikan ajaran sufisme adalah salah satu  penerapannya. Sehingga ajaran tasawuf disini sangatlah penting dipelajari oleh sang guru sehingga dapat mengarahkan ibadah yang baik kepada peserta didik dan menjadi suri tauladan dalam  setiap perilakunya.





[1] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf. (Jakarta: AMZAH, 2015). hlm. 1
[2] Ibid, hlm. 3-4
[3] Ibid, hlm. 9
[4] Al Jailani, Abdul Qadir, Al-Tashawuf Dalam Al-Gunyah Lithalibi Thariq Al-Haqq (Trj. Aguk Irawan, Buku Pintar Tasawuf: Memahami Spiritual Islam Dan Tarekat Dari Ahlinya). (Jakarta: Zaman. 2012). hlm. 16
[5] Ibid. hlm. 17
[6] Isa, Abdul Qadir. Hakekat Tasawuf (Trj. Khairul Amru Harahab Dan Afrizal Lubis). (Jakarta: Qisthi Press, 2005). hlm. 10
[7] Ibid, hlm. 45-46
[8] Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008). hlm. 958
[9] Ibid. hlm. 1347
[10] Hermansyah, Neo Sufisme :Sejarah Dan Prospeknya, (Jurnal Khatulistiwa-Journal Of  Islamic Studies Volume 3 Nomor 2 September 2013). hlm. 114
[11] Hermansyah, Neo Sufisme :Sejarah Dan Prospeknya, (Jurnal Khatulistiwa-Journal Of  Islamic Studies Volume 3 Nomor 2 September 2013). hlm 114-115
[12] Hermansyah, Neo Sufisme :Sejarah Dan Prospeknya, (Jurnal Khatulistiwa-Journal Of  Islamic Studies Volume 3 Nomor 2 September 2013). hlm. 115
[13] Ibid, hlm. 117-118
[14] Muzakkir , Tasa wuf Dalam Kehidupan Kontemporari: Perjalanan Neo-Sufisme.(Jurnal Usuluddin, Bil 26, 2007). hlm. 69
[15] Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Klasik Ke Neo-Sufisme.(Jakarta: Pt Raja Gafindo Persada, 1999). hlm. 251
[16] Ibid, hlm. 70
[17] Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Klasik Ke Neo-Sufisme.(Jakarta: Pt Raja Gafindo Persada, 1999). hlm. 254-256
[18] Ibid, hlm. 70
[19] Wasisto Raharjo Jati , Sufisme Urban Di Perkotaan: Konstruksi Keimanan Baru Kelas Menenengah Muslim. (Jurnal Kajian & Pengembangan Manajemen Dakwah Volume 05 –Nomor 02 Desember 2015). hlm. 177
[20] Wasisto Raharjo Jati , Sufisme Urban Di Perkotaan: Konstruksi Keimanan Baru Kelas Menenengah Muslim. (Jurnal Kajian & Pengembangan Manajemen Dakwah Volume 05 –Nomor 02 Desember 2015). hlm. 177-178
[21] Ibid. hlm. 178
[22] Ibid. hlm. 179-180
[23] Ibid, hlm. 186
[24] Ibid, hlm. 187
[25] Wasisto Raharjo Jati , Sufisme Urban Di Perkotaan: Konstruksi Keimanan Baru Kelas Menenengah Muslim. (Jurnal Kajian & Pengembangan Manajemen Dakwah Volume 05 –Nomor 02 Desember 2015). hlm. 189
[26] Wasisto Raharjo Jati , Sufisme Urban Di Perkotaan: Konstruksi Keimanan Baru Kelas Menenengah Muslim. (Jurnal Kajian & Pengembangan Manajemen Dakwah Volume 05 –Nomor 02 Desember 2015). hlm. 189-190
[27] Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2017). hlm. 13

Komentar

Postingan Populer